Setiap orang pasti memiliki sosok yang dijadikannya sebagai pahlawan dalam hidupnya. Menjadi pahlawan berati identik dengan seberapa besar dia berjasa dalam hidup kita. Dan bagi saya, pahlawan sejati itu adalah ibu saya sendiri. Begitu banyak jasa yang telah beliau berikan kepada saya, terutama dalam bentuk pengorbanan dan perjuangan. Ketika saya salah, beliau tidak langsung marah. Beliau mencari alasan terlebih dahulu, baru bersikap secara adil.
Ketika saya harus menepi di rumah sakit akibat cedera engkel setelah main bola, kejadian yang menyebabkan bapak marah besar sehingga melarangku untuk bermain bola lagi, ibu justru menjanjikan sepatu bola baru jika saya sembuh. Apa yang terjadi setelah saya keluar dari rumah sakit? Benar, di kamar sudah ada sepasang sepatu bola baru. Tidak hanya itu, impian yang saat itu hanya saya pendam akan segera terwujud. Impian yang hanya saya ceritakan lewat buku harian segera terealisasi. Didalam bungkus sepatu bola, terdapat formulir pendaftaran menjadi bagian dari SSB Unsoed/Sekolah Sepakbola Unsoed. Allahu Akbar, Ternyata ibu membaca impianku. Tidak hanya membaca, tetapi juga mewujudkannya.
Pertanyaannya, apakah saya merasakan ibu sebagai pahlawan pada saat itu juga? jawabannya tidak. Saya tidak merasakan ibu sebagai pahlawan pada saat dia berjasa kepadaku, sekali lagi tidak. Perasaan itu muncul justru ketika saya harus kehilangan beliau. Tepatnya ketika kenaikan kelas X SMA. Allah Ta'ala Memanggilnya. Tidak ada lagi yang membuatkan sarapan tiap pagi, tidak ada lagi yang menanyakan tugas sekolah dan tidak ada lagi yang lainnya. Barulah saat itu saya tersadar bahwa ibu adalah pahlawanku. Sungguh tepat apa yang telah diucapkan seorang penyair : SESEORANG AKAN MERASAKAN SESUATU, SETELAH IA KEHILANGAN SESUATU TERSEBUT.
Perasaan kehilangan pahlawan ini terus berlanjut sampai ketika saya terdampar di bumi IPB darmaga, bogor. Saat itu, saya harus melewati kawah candradimuka sendirian. Ketika tugas menumpuk, ketika kiriman bulanan telat dan ketika masalah-masalah lain datang. Dan puncaknya adalah ketika saya dengan modal nekad memberanikan diri untuk keluar dari IPB disemester 5. Bukan karna bodoh, karna pada saat itu saya adalah satu dari 5 mahasiswa yang mendapat beasiswa dari DIKTI. Semua orang langsung mencaci, merendahkan bahkan membodohkan saya. Tak terkeculi keluarga saya sendiri. Kenapa mereka tidak bertanya alasanku? Seandainya pada waktu itu ada sosok ibu, pasti dia tidak langsung menvonisku bersalah, pasti dia akan menanyakan alasanku, dan setelah tahu alasannya, saya yakin pasti dia akan sependapat denganku.
Dan setelah hampir 7 tahun kehilangan sosok pahlawan dalam diri seorang ibu, akhirnya saya menemukan sosok pahlawan kembali. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah istri saya sendiri. Belum genap 22 tahun, dengan modal nekad saya putuskan untuk menikah. Saat itulah kepahlawanan ibu tercermin oleh sikap dan akhlaknya sehari-hari. Dia tidak mengeluh apalagi malu mendapatkan suami yang tidak lulus kuliah, padahal dia sendiri lulusan S1. Dia terus membela saya ketika keluarganya sendiri mempertanyakan keputusanku keluar dari kuliah.
Pernah ketika salah satu usaha gerobak kuliner yang didepan UNSOED harus ditinggal karyawan karena izin mendadak, saya harus menggantikannya selama 3 hari. Dan kebetulan saat itu, ada sepupu yang melihat dan langsung lapor ke bapak. Tanpa ampun, bapak pun langsung ngomel kalo tindakan saya itu sudah membuat malu keluarga. Tapi bagaimana sikap istri? dia justru membawakan sebuah nasihat dari Rasulullah, "Jangan kalian remehkan satu/dua perak kalian mentaati Allah dengan mencarinya. Bukan satu/dua peraknya yang dinilai, melainkan ketaatan kalian dalam mencarinya yang akan dinilai. Bisa jadi dengan satu/dua perak itu kamu membeli makanan, dan tidaklah makanan itu masuk keperutmu melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosamu". Sebuah sikap yang menyejukan hati.
Bahkan dengan perantara istri pula, saya justru semakin sadar bahwa sosok ibu adalah pahlawan sejati bagi anak-anaknya. Ketika mendampingi istri melahirkan anak pertama, saat itu pula saya teringat kepayahan dan penderitaan ibu ketika melahirkan saya dulu. Ketika melihat tulusnya kasih sayang istri kepada anak, maka teringat pula saya akan tulusnya kasih sayang ibu kepada saya. Dan ketika melihat kesedihan istri ketika anak sakit, maka langsung terbayang bagaimana kesedihan ibu ketika saya sakit dulu. Ampuni ibuku ya Allah, Allohummaj'al ummi sayyidah min sayyidatil jannah, jadikan ibuku sebagai putri dari putri-putri surga ya Allah.
Ya, dua pahlawan sejatiku adalah ibu yang telah melahirkan saya dan ibu yang telah melahirkan anak-anak saya. Jika guru mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa, maka bagaimana dengan seorang ibu? gelar apa yang pantas diberikan kepadanya? karna ibu adalah seorang guru, sekaligus pelindung, sekaligus pengayom bagi anak-anaknya.
Berbahagialah engkau wahai para wanita muslimah, statusmu begitu mulia. Bukan sembarang orang yang memuliakanmu, ingatlah bahwa yang memuliakanmu adalah manusia terbaik yang pernah ada di muka bumi ini, yaitu Rasulullah. Ingatlah bahwa beliau pernah bersabda, "Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya". Sekolah pertama ibarat pondasi, jika pondasinya baik dan kuat maka bangunan yang dihasilkanpun akan baik dan kuat. Maka jagalah kemuliaan statusmu itu. Jadilah pahlawan sejati bagi anak-anakmu, karna secara tidak langsung engkupun menjadi pahlawan bagi agama dan bangsa yang kita cintai ini. Jangan sampai engkau menjadi pahlawan di kantor tempatmu bekerja tetapi anak-anakmu tidak menganggapmu sebagai pahlawan bagi mereka. Dan jika hal itu terjadi, maka sejatinya engkau adalah wanita yang telah gagal meskipun karir pekerjaanmu mencapai langit ketujuh.
Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden's First Give Away dengan mengarah ke link
http://niken-bundalahfy.blogspot.com/2012/09/lovely-little-garden-first-give-away.html
Trimakasih partisipasinya.
BalasHapusTercatat sebagai peserta Lovely Little Garden's First Give Away.